KONFLIK ANTAR SUKU ATAU
BANGSA
Konflik antar sukubangsa yang ditangai secara
reaktif, akan melahirkan konflik antar sukubangsa yang baru dan lebih besar,
dan selanjutnya dapat menjadi penyebab terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh
karena itu, konsep pemolisian komuniti harus segera dikuasai oleh seluruh
petugas polisi, kemudian dikenalkan dan disosialisasikan kepada masyarakat
secara nasional, dan dijadikan menjadi sebuah kebijakan nasional yang bukan
hanya menjadi domein tugas polisi, tetapi juga menjadi tanggung jawab
pemerintah dengan membuatnya menjadi peraturan atau perundangan yang mengikat
secara politik.
Ø
Eksistensi Polri
Polri sebagai penegak hukum dan pranata yang
menjalankan administrasi pemerintahan, harus mampu menjadi wasit yang adil dan
dapat dipercaya oleh masyarakat sukubangsa-sukubangsa. Sebagai sebuah pranata,
maka polisi harus merupakan sistem antar hubungan dan norma-norma yang
benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat dalam melaksanakan fungsi kepolisian.
Fungsi kepolisian pada hakekatnya dijiwai oleh semangat untuk melayani (to
serve) dan melindungi (to protect) produktivitas-produktivitas
masyarakat guna terciptanya keteraturan sosial. Dengan demikian dalam
menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, maka tindakan-tindakan petugas polisi
haruslah selalu dijiwai dengan semangat untuk melayani dan melindungi semua
masyarakat tanpa diskriminasi.
Kaitannya dalam hubungan antar sukubangsa, maka
fungsi dan peran polisi masa depan haruslah dapat bertindak sebagai wasit yang
adil, dalam menjembatani hubungan antara system nasional dengan system
kesukubangsaan dan tempat-tempat umum. Dan sebagai polisi masa depan selalu
memperhatikan hubungan fungsional antara polisi dan masyarakatnya, dimana corak
dari fungsi-fungsi polisi akan ditentukan dari perkembangan corak perkembangan
masyarakat dan kebudayaan masyarakat setempat-setempat, sehingga alternative
gaya pemolisian yang paling tepat bagi polisi masa depan melalui pemolisian
komuniti yang menempatkan masyarakat juga sebagai polisi-polisi bagi lingkungannya.
Selanjutnya makalah ini akan menjelaskan konsep-konsep tentang sukubangsa dan
hubungan antar sukubangsa, kemudian kerjasama, persaingan dan konflik antar
sukubangsa, serta fungsi dan peran polisi dalam pencegahan terjadinya potensi
konflik dan tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat konflik sedang
berlangsung diantara sukubangsa.
Ø
B. Konflik Antar Sukubangsa
Bahwa konflik antar sukubangsa ada dan terwujud
dalam hubungan antar sukubangsa, yang terjadi karena perebutan
sumberdaya-sumberdaya berharga dan mempertahankan kehormatan jati diri dari
anggota-anggota komuniti sukubangsa setempat dengan golongan-golongan
sukubangsa lainnya. Konflik antar sukubangsa, pada awalnya dimulai dari warga
sukubangsa yang merasa dirugikan oleh sesuatu perbuatan yang tidak adil yang
dilakukan oleh pihak lawannya, atau karena dirasakan tidak adanya atau tidak
cukupnya aturan main yang adil dan prosedur-prosedur yang dapat digunakan untuk
menjembatani perbedaan-perbedaan yang dapat memecahkan dan menghentikan konflik
tersebut.
Perbuatan merugikan secara tidak adil tersebut
kemudian dilihat dalam kerangka yang lebih biasa yang mengacu pada stereotip
dan prasangka yang dipunyai oleh para pelaku yang dirugikan, yang kemudian
mengaktifkan sentimen kesukubangsaan yang penuh dengan muatan emosi dan
perasaan-perasaan untuk menciptakan solidaritas sosial yang melibatkan warga
sukubangsa untuk mencari bantuan dari masing-masing kerabat dan anggota-anggota
sukubangsanya dalam memenangkan konflik yang terjadi.
Secara hipotesis konflik antar sukubangsa dapat
dicegah bila dalam hubungan-hubungan sosial antar sukubangsa-sukubangsa yang
berbeda, yang terwujud dalam kerjasama, persaingan dan konflik dalam
memperebutkan sumberdaya-sumberdaya berharga dan mempertahankan kehormatan
jaridiri sukubangsa atau kesukubangsaannya, terdapat aturan-aturan main yang
adil, tersedianya saluran-saluran komunikasi yang dapat mereduksi subyektivitas
dari stereotip dalam hubungan antar sukubangsa, dan adanya penegak hukum
sebagai pihak ketiga yang netral dan bertindak selaku wasit yang adil dan dapat
dipercaya oleh masyarakat sukubangsa-sukubangsa.
Ø
C. Fungsi Polisi Dalam Konflik
Antar Sukubangsa
Berdasarkan identifikasi karakteristik hubungan
dan konflik antar sukubangsa tersebut, maka secara hipotesis konflik sukubangsa
sebenarnya dapat dicegah apabila ada peraturan atau aturan main yang adil bagi
pihak-pihak yang saling bersaing, ada satu lembaga yang memiliki kewenangan dan
dapat bertindak sebagai wasit yang adil dalam menegakkan aturan-aturan, lembaga
yang memiliki kewenangan untuk melayani dan melindungi
produktivitas-produktivitas masyarakat, lembaga itu juga mampu menjadi mediator
dan fasilitator hubungan antar sukubangsa, lembaga yang dapat menghubungkan
antara kepentingan dalam system nasional, sistem sukubangsa dan sistem
tempat-tempat umum dalam rangka menciptakan keteraturan sosial.
Menciptakan keteraturan sosial merupakan fungsi
dari lembaga polisi. Menurut Richardson (1974) dan Reksodiputro (1977) dalam
Suparlan (2004a) bahwa polisi merupakan alat negara, atau sebuah departemen
pemerintahan yang didirikan untuk memelihara keteraturan sosial dalam
masyarakat, menegakkan hukum dan mendeteksi kejahatan serta mencegah terjadinya
kejahatan, dan memerangi kejahatan. Oleh karena itu keberadaan polisi adalah
fungsional dalam kehidupan manusia dalam masyarakat dan bernegara. Hubungan
fungsional antara polisi dan masyarakat, menunjukkan bahwa keberadaan polisi
beserta fungsi-fungsinya ditentukan berdasarkan corak masyarakat dan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan rasa aman. Artinya, corak dari
fungsi-fungsi polisi dapat berbeda disatu masyarakat dengan masyarakat lainnya,
tergantung dari corak kerawanan, tantangan dan kebudayaan masyarakat
setempat-setempat.
Dalam melaksanakan fungsinya, aktivitas-aktivitas
polisi secara tradisional yang bersifat reaktif dengan mengedepankan tindakan
represif ketimbang tindakan preventif harus mulai dirubah, menjadi
aktivitas-aktivitas polisi secara modern yang bersifat proaktif dengan
mengedepankan tindakan-tindakan pencegahan. Karena polisi masa depan dalam
masyarakat sipil yang demokratis menuntut polisi mendahulukan tindakan
pencegahan ketimbang penindakan atau penegakan hukum, karena tindakan
pencegahan lebih mampu menekan kejadian, menekan timbulnya kerugian harta dan
jiwa, ongkos yang dikeluarkan relatif lebih sedikit dan dengan segala
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh polisi dibandingkan dengan tantangan
dan tuntutan rasa aman yang diinginkan oleh masyarakt maka tindakan pencegahan
juga mengikut sertakan masyarakat dalam menciptakan keteraturan sosial dalam
masyarakat itu sendiri. Konsep dan kebijakan yang tepat dalam pencegahan terjadinya
kejahatan dengan mengikutsertakan komuniti-komuniti dalam masyarakat melalui
kebijakan dan program pemolisian komuniti (Community policing).
Pemolisian komuniti merupakan konsep kebijakan dan program yang tepat
diterapkan dalam pencegahan konflik yang terjadi dalam hubungan antar
sukubangsa. Friedman (1992) menjelaskan bahwa hubungan polisi dengan komuniti
setempat sebagai bagian dari kebijaksanaan dan strategi untuk kepentingan
polisi dalam memelihara keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan komuniti,
dalam sebuah model yang dinamakan sebagai pemolisian komuniti (community
policing).
Pemolisian komuniti dibentuk atas bangunan konsep
dari pembangunan komuniti (community development) merupakan sebuah
proses yang bercorak bottom up dimana anggota-anggota sebuah komuniti
menggorganisasi diri mereka dalam kelompok atau kumpulan individu yang secara
bersama merasakan kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi dan
masalah-masalah yang harus mereka atasi yang dalam pelaksanaannya mereka itu
tergantung pada sumber-sumberdaya yang ada dalam komuniti, dan bila merasa
kurang maka mereka meminta bantuan kepada pemerintah atau badan-badan
pemerintah. Sehingga dalam pemolisian komuniti memperlihatkan keterlibatan
masyarakat dalam memberikan ide-ide, perencanaan-perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan dari anggota komuniti yang berasal dari mereka sendiri dan
untuk kepentingan dan keuntungan mereka bersama, sehingga apabila keteraturan
sosial menjadi suatu kebutuhan bagi komuniti, masyarakat dan warga sukubangsa,
maka mereka diberi kesempatan untuk membangun secara bottom up, dan
polisi memberikan kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dicukupi oleh mereka,
seperti kewenangan, pembinaan dan metoda pengamanan lingkungan yang benar.
Melalui kebijakan dan program pemolisian komuniti (community policing)
inilah sebenarnya polisi akan dapat berfungsi sebagai pengayom warga komuniti
dari berbagai bentuk dan ancaman serta kejahatan serta penegak hukum yang adil
dan terpercaya sehingga dapat berfungsi sebagai mediator ataupun sebagai
negoisator secara efektif dan efesien dalam berbagai konflik yang terwujud
dalam komuniti setempat.
Ø
Fungsi polisi dalam mencegah terjadinya konflik
antar sukubangsa dengan menerapkan konsep pemolisian komuniti dilakukan untuk
untuk:
-
Mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya tentang kebudayaan dari
masing-masing sukubangsa dan konvensi-konvensi sosial yang berlaku dalam
suatu komuniti.
-
Memberikan kesempatan kepada komuniti atau warga sukubangsa dalam hubungan
antar sukubangsa untuk membangun konsep keamanan mereka yang dipandu oleh
polisi.
-
Menjadi mediator atau negoisator dalam berbagai perbedaan yang ada dalam suatu
golongan atau sukubangsa, dengan cara memberikan informasi yang cukup kepada
warga suatu sukubangsa tentang kebudayaan dari masing-masing sukubangsa,
memberikan fasilitas yang mempertemukan warga sukubangsa , untuk melakukan komunikasi
sosial yang dapat mereduksi tajamnya batas-batas sosial dan stereotip.
-
Bertindak sebagai wasit yang adil dalam menegakkan aturan yang ada.
-
Menjadi pengawas atas konvensi-konvensi sosial yang berlaku adil.
Untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai
pencegah terjadinya konflik, maka seorang petugas polisi yang melaksanakan
kegiatan pemolisian komuniti dituntut untuk selalu berada didalam wilayah dan
ada diantara warga sukubangsa-sukubangsa, artinya selalu melakukan komunikasi
dengan warga sukubangsa-sukubangsa dan memahami kebudayaan beserta
atribut-atribut dari masing-masing warga sukubangsa, sehingga diperoleh
informasi yang cukup tentang keluhan-keluhan tentang hubungan antar sukubangsa,
harapan-harapan dan berbagai permasalahan dalam menciptakan keteraturan sosial,
dan berbagai aturan yang dirasakan masih belum memberikan rasa aman dan
keadilan dalam hubungan antar sukubangsa dan masyarakat ditempat tugasnya.
Oleh karena itu diperlukan pengetahuan yang cukup
bagi petugas polisi dalam menjalankan perannya sebagai pelaksana polisi
komuniti untuk mencegah terjadinya konflik antar sukubangsa, baik pengetahuan
dalam bidang pemolisian maupun pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial. Rahardjo
menjelaskan prinsip-prinsip pemolisian komuniti yang harus dimiliki oleh setiap
petugas polisi antara lain : (1) individual, artinya petugas polisi
mengutamakan pendekatan individu atau personal bukan otoritas yang justru
menjauhkan polisi dari masyarakatnya, dan bersikap sebagai pelayan masyarakat
yang tidak diskriminatif, (2) dialogue persuasion, artinya lebih menggunakan
pendekatan persuasif dengan dialog daripada kekuatan pasukan, (3) freedom,
artinya masyarakat diberikan kebebasan dalam memberikan pendapatnya tentang
pemolisian komuniti, serta kritik kepada polisi dalam upaya mencari pemecahan
terbaik dan menentukan gaya pemolisian yang tepat bagi lingkungannya, (4)
partnership, artinya dalam pemolisian komuniti masyarakat merupakan partner
polisi bukan sebagai obyek, (5) accountability, artinya walaupun pemolisian
komuniti merupakan tanggunjawab bersama antara polisi dan masyarakat, namun
polisi juga harus transparan dalam pembuatan kebijakan publik baik secara
organisasi maupun perorangan, dan (6) people, artinya pemolisian komuniti mengutamakan
kepentingan orang banyak, bukan perorangan, untuk itu harus didasarkan pada
semangat perlindungan manusia tanpa diskriminasi.
Fungsi dan peran polisi yang harus dilakukan pada
saat sedang berlangsungnya konflik fisik antar sukubangsa adalah pertama,
meredam dan menghentikan konflik fisik antar sukubangsa yang terjadi dengan
menggunakan kekuatan fisik polisi yang lebih besar dari warga
sukubangsa-sukubangsa yang terlibat konflik, kedua mencegah
meluasnya wilayah dan sentimen konflik fisik yang terjadi, ketiga menjadi
mediator dan negosiator yang dapat dipercaya untuk membangun aturan-aturan atau
konvensi-konvensi sosial yang disepakati oleh kedua pihak yang sedang konflik,
dan keempat mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya tentang
konflik yang terjadi guna mencegah terjadinya potensi-potensi konflik dalam
bentuk konflik simbolik yang dapat mengaktifkan kembali konflik fisik yang
lebih besar dimasa yang akan datang.
Pada saat konflik fisik antar sukubangsa sedang
terjadi dan melibatkan massa yang besar diantara warga sukubangsa-sukubangsa
yang saling berhadapan secara fisik, maka cara yang paling efektif untuk
menghentikan konflik fisik yang saling berhadapan itu adalah dengan menggunakan
kekuatan fisik polisi yang lebih besar dari kekuatan dan jumlah warga
sukubangsa-sukubangsa yang terlibat konflik, hal ini dilakukan dalam upaya
untuk mencegah bertambahnya korban jiwa, terutama warga sukubangsa-sukubangsa
yang tidak mengetahui atau tidak terlibat dengan konflik yang terjadi, dan
mencegah semakin parahnya kerusakan fisik dan fasilitas umum yang ada. Tindakan
penggunaan kekuatan fisik polisi yang besar dapat dilakukan dengan dua syarat,
pertama, polisi memiliki sumberdaya fisik yang cukup untuk meredam konflik yang
terjadi, dan kedua, polisi secara personal dan kesatuan memiliki kemampuan
untuk bertindak secara adil dan tidak memihak kepada salah satu pihak
sukubangsa yang sedang konflik.
Bersamaan dengan tindakan pengerahan kekuatan
fisik polisi pada konflik fisik antar sukubangsa, maka juga dilakukan
tindakan-tindakan mencegah agar konflik fisik yang terjadi tidak meluas, yaitu
dengan menutup wilayah-wilayah yang menjadi arena konflik, melakukan tindakan
pencegahan berupa pemeriksaan terhadap orang-orang yang akan memasuki wilayah
konflik yang diperkirakan akan memberikan bantuan secara fisik maupun bantuan
berupa persenjataan-persenjataan yang justru akan semakin memperburuk keadaan
konflik yang terjadi serta akan memperluas wilayah konflik fisik, karena
apabila diketahui oleh salah satu warga sukubangsa yang terlibat konflik bahwa
ada warga sukubangsa lain atau kelompok dalam golongan sosial lain yang
memberikan bantuan kepada salah satu warga sukubangsa, maka konflik antar
sukubangsa akan semakin meluas dan melibatkan golongan yang memberikan bantuan
kepada salah satu pihak yang sedang konflik. Tindakan pencegahan meluasnya
konflik fisik yang terjadi juga dilakukan dengan meningkatkan komunikasi dengan
para warga sukubangsa dan tokoh-tokoh masyarakat sukubangsa disekitar wilayah
konflik atau tetangga wilayah konflik untuk menjelaskan dan memberi pemahaman
tentang konflik fisik antar sukubangsa yang terjadi diwilayah sebelahnya dan mencegah
terlibatnya warga sukubangsa atau masyarakat sekitar terhadap konflik yang
terjadi diwilayah sebelahnya.
Pada saat itu, polisi juga harus segera bertindak
sebagai mediator atau negoisator yang dapat dipercaya oleh kedua pihak untuk
mempertemukan para tokoh-tokoh yang terlibat konflik, diajak berbicara dan
mencari upaya-upaya untuk menghentikan konflik yang terjadi secara damai. Membuat
aturan-aturan atau konvensi-konvensi sosial beserta sanksi-sanksi yang
disepakati bersama. Aturan-aturan tersebut dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh masing-masing pihak sukubangsa yang terlibat konflik,
dengan ketentuan apabila ada salah satu pihak yang melanggar dari kesepakatan
yang tertulis, maka polisi akan menjadi wasit sekaligus menegakkan hukum.
Sebagai wasit yang adil, maka polisi harus memahami kebudayaan yang didalamnya
berisi tentang konsep-konsep dan metode-metode peperangan dan penyelesaian
peperangan dari kedua pihak yang terlibat konflik, artinya polisi harus dapat
mempertemukan secara arif dan adil antara kepentingan mencegah bertambahnya
korban jiwa dan harta, dengan kepentingan aturan-aturan perang dan penyelesaian
perang dalam kebudayaan kedua belah pihak serta aturan-aturan yang diatur
secara hukum nasional, yang seluruhnya harus berorientasi kepada terhentinya
konflik, terciptanya perdamaian dikedua pihak, disepakati dan diterimanya
aturan-aturan yang dibuat oleh kedua pihak, serta tidak menimbulkan konflik
dimasa yang akan datang.
Petugas polisi juga harus mampu mengumpulkan
informasi apakah konflik yang terjadi saat ini memiliki hubungan dan pernah
terjadi sebelumnya, siapa-siapa saja yang terlibat konflik pada saat itu, apa
yang menjadi penyebab terjadinya konflik pada saat itu, siapa saja yang menjadi
korban dan siapa yang menjadi kerabat dari korban, bagaimana reaksi dari
kerabat korban dengan konflik yang terjadi, dan selanjutnya siapa yang memiliki
potensi menjadi provokator atau orang-orang yang dapat mewujudkan konflik
simbolik yang dapat mengaktifkan sentimen kesukubangsaan. Informasi-informasi
ini sangat berguna untuk dianalisa ketika konflik sedang berlangsung, guna
menemukan dan mengumpulkan tokoh-tokoh yang tepat dan mengetahui sumber
penyebab terjadinya konflik sehingga ditemukan cara-cara penyelesaian konflik
yang tepat. Dalam mencari cara-cara penyelesaian yang tepat polisi juga dapat
menggunakan konsep memperbaiki jendela yang rusak (fixing the broken windows)
oleh Kelling & Coles (1998), yaitu menciptakan suatu lingkungan yang aman
bagi hubungan antar sukubangsa, disamping melibatkan polisi dan masyarakat juga
pemerintahan setempat untuk mencari sumber-sumber masalah yang menjadi embrio
dari konflik antar sukubangsa, memperbaikinya secara bersama-sama dan membuat
aturan-aturan atau konvensi-konvensi sosial, serta melibatkan masyarakat dalam
menjaga aturan-aturan tersebut.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
1. Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.
2. Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
3. Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.
KESIMPULAN
Disadari atau tidak perdamaian dan suasana yang kondusif adalah suatu hal yang sangat diidamkan oleh masyarakat negeri ini. perlunya peran pemerintah dan kerjasama antara elemen masyarakat. Perspektif konflik antara sukubangsa Ambon dan Flores yang terjadi didepan PN Jakarta Selatan tersebut diatas terutama disebabkan pengaktifan sentimen kesukubangsaan secara sempit dan subyektif yang diinterpretasikan sebagai perbuatan yang melukai harga diri dan kehormatan masing – masing sukubangsa Ambon dan sukubangsa Flores yang selanjutnya terwujud sebagai konflik fisik yang bertujuan melakukan penghancuran harta benda bahkan saling mengacam untuk memusnahkan jiwa kedua belah pihak yang bertikai
Kurangnya pemahaman dan internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika oleh generasi muda tersebut turut memicu munculnya aroganisme yang mengakibatkan konflik antar sukubangsa yang semestinya tidak terjadi apabila nilai-nilai dimaksud telah tertanam dalam tiap-tiap individu mereka, walaupun tidak bias dipungkiri pula faktor Ekonomi adalah salah satu sebab lain yang memiliki andil dalam kejadian tersebut.
Aspek individu pihak-pihak yang terlibat konflik melalui pemberian pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika, peniadaan stereotip dan prasangka serta kesediaan saling memaafkan antar satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya. Cara lainnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah upaya untuk pemerataan dibidang ekonomi dan pembangunan dengan cara penyedian sumber-sumber lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan merata diseluruh Indonesia sehingga tidak terjadi penumpukan penduduk disalah satu wilayah yang menimbulkan dampak lain seperti pengangguran. Gunamewujudkan keharmonisan hubungan antar sukubangsa dalam interaksisosial, Polri dapat berperan di dalamnya dengan menerapkan model Polmasmelalui pemberdayaan para tokoh yang merupakan Patron dari masing-masing sukubangsa yang terlibat konflik sehingga terjadi hubungan dan kerjasama yang berkesinambungan antara masing masing sukubangsa tersebut.
Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-insan yang berorientasi inklusivisme. Berkepribadian sebagai eksklusivis, warga tidak hendak menyatukan dirinya ke puak lain, bahkan, alih-alih demikian, ia besikap konfrontatif dengan puak lain. Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik yang dibayangkan hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all serta pula bahwa to the winner the spoil. Matinya yang kalah akan menjadi rotinya sang pemenang, iemands dood, iemands brood. Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada model yang demikian ini, yang tak muhal bisa terjadi juga dalam masyarakat yang demokratik, akibat yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi; ialah dicegah untuk menjadi terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang “pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan aturan-aturan permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-undangan) yang telah dimengerti dan disosialisasikan.
Sumber :
http://buanajurnal.wordpress.com/2013/06/28/konflik-antar-suku-bangsa
http://mascondro212.blogspot.com/2011/05/konflik-antar-suku-bangsa-dan-upaya_16.html
http://mascondro212.blogspot.com/2011/05/konflik-antar-suku-bangsa-dan-upaya_16.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar