Kamis, 15 Mei 2014

KONFLIK ANTAR SUKU ATAU BANGSA

KONFLIK ANTAR SUKU ATAU BANGSA

Konflik antar sukubangsa yang ditangai secara reaktif, akan melahirkan konflik antar sukubangsa yang baru dan lebih besar, dan selanjutnya dapat menjadi penyebab terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, konsep pemolisian komuniti harus segera dikuasai oleh seluruh petugas polisi, kemudian dikenalkan dan disosialisasikan kepada masyarakat secara nasional, dan dijadikan menjadi sebuah kebijakan nasional yang bukan hanya menjadi domein tugas polisi, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah dengan membuatnya menjadi peraturan atau perundangan yang mengikat secara politik.
Ø  Eksistensi Polri
Polri sebagai penegak hukum dan pranata yang menjalankan administrasi pemerintahan, harus mampu menjadi wasit yang adil dan dapat dipercaya oleh masyarakat sukubangsa-sukubangsa. Sebagai sebuah pranata, maka polisi harus merupakan sistem antar hubungan dan norma-norma yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat dalam melaksanakan fungsi kepolisian. Fungsi kepolisian pada hakekatnya dijiwai oleh semangat untuk melayani (to serve) dan melindungi (to protect) produktivitas-produktivitas masyarakat guna terciptanya keteraturan sosial. Dengan demikian dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, maka tindakan-tindakan petugas polisi haruslah selalu dijiwai dengan semangat untuk melayani dan melindungi semua masyarakat tanpa diskriminasi.
Kaitannya dalam hubungan antar sukubangsa, maka fungsi dan peran polisi masa depan haruslah dapat bertindak sebagai wasit yang adil, dalam menjembatani hubungan antara system nasional dengan system kesukubangsaan dan tempat-tempat umum. Dan sebagai polisi masa depan selalu memperhatikan hubungan fungsional antara polisi dan masyarakatnya, dimana corak dari fungsi-fungsi polisi akan ditentukan dari perkembangan corak perkembangan masyarakat dan kebudayaan masyarakat setempat-setempat, sehingga alternative gaya pemolisian yang paling tepat bagi polisi masa depan melalui pemolisian komuniti yang menempatkan masyarakat juga sebagai polisi-polisi bagi lingkungannya. Selanjutnya makalah ini akan menjelaskan konsep-konsep tentang sukubangsa dan hubungan antar sukubangsa, kemudian kerjasama, persaingan dan konflik antar sukubangsa, serta fungsi dan peran polisi dalam pencegahan terjadinya potensi konflik dan tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat konflik sedang berlangsung diantara sukubangsa.
Ø  B.   Konflik Antar Sukubangsa
Bahwa konflik antar sukubangsa ada dan terwujud dalam hubungan antar sukubangsa, yang terjadi karena perebutan sumberdaya-sumberdaya berharga dan mempertahankan kehormatan jati diri dari anggota-anggota komuniti sukubangsa setempat dengan golongan-golongan sukubangsa lainnya. Konflik antar sukubangsa, pada awalnya dimulai dari warga sukubangsa yang merasa dirugikan oleh sesuatu perbuatan yang tidak adil yang dilakukan oleh pihak lawannya, atau karena dirasakan tidak adanya atau tidak cukupnya aturan main yang adil dan prosedur-prosedur yang dapat digunakan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang dapat memecahkan dan menghentikan konflik tersebut.
Perbuatan merugikan secara tidak adil tersebut kemudian dilihat dalam kerangka yang lebih biasa yang mengacu pada stereotip dan prasangka yang dipunyai oleh para pelaku yang dirugikan, yang kemudian mengaktifkan sentimen kesukubangsaan yang penuh dengan muatan emosi dan perasaan-perasaan untuk menciptakan solidaritas sosial yang melibatkan warga sukubangsa untuk mencari bantuan dari masing-masing kerabat dan anggota-anggota sukubangsanya dalam memenangkan konflik yang terjadi.
Secara hipotesis konflik antar sukubangsa dapat dicegah bila dalam hubungan-hubungan sosial antar sukubangsa-sukubangsa yang berbeda,  yang terwujud dalam kerjasama, persaingan dan konflik dalam memperebutkan sumberdaya-sumberdaya berharga dan mempertahankan kehormatan jaridiri sukubangsa atau kesukubangsaannya, terdapat aturan-aturan main yang adil, tersedianya saluran-saluran komunikasi yang dapat mereduksi subyektivitas dari stereotip dalam hubungan antar sukubangsa, dan adanya penegak hukum sebagai pihak ketiga yang netral dan bertindak selaku wasit yang adil dan dapat dipercaya oleh masyarakat sukubangsa-sukubangsa.
Ø  C.   Fungsi Polisi Dalam Konflik Antar Sukubangsa
Berdasarkan identifikasi karakteristik hubungan dan konflik antar sukubangsa tersebut, maka secara hipotesis konflik sukubangsa sebenarnya dapat dicegah apabila ada peraturan atau aturan main yang adil bagi pihak-pihak yang saling bersaing, ada satu lembaga yang memiliki kewenangan dan dapat bertindak sebagai wasit yang adil dalam menegakkan aturan-aturan, lembaga yang memiliki kewenangan untuk melayani dan melindungi produktivitas-produktivitas masyarakat, lembaga itu juga mampu menjadi mediator dan fasilitator hubungan antar sukubangsa, lembaga yang dapat menghubungkan antara kepentingan dalam system nasional, sistem sukubangsa dan sistem tempat-tempat umum dalam rangka menciptakan keteraturan sosial.
Menciptakan keteraturan sosial merupakan fungsi dari lembaga polisi. Menurut Richardson (1974) dan Reksodiputro (1977) dalam Suparlan (2004a) bahwa polisi merupakan alat negara, atau sebuah departemen pemerintahan yang didirikan untuk memelihara keteraturan sosial dalam masyarakat, menegakkan hukum dan mendeteksi kejahatan serta mencegah terjadinya kejahatan, dan memerangi kejahatan. Oleh karena itu keberadaan polisi adalah fungsional dalam kehidupan manusia dalam masyarakat dan bernegara. Hubungan fungsional antara polisi dan masyarakat, menunjukkan bahwa keberadaan polisi beserta fungsi-fungsinya ditentukan berdasarkan corak masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan rasa aman. Artinya, corak dari fungsi-fungsi polisi dapat berbeda disatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, tergantung dari corak kerawanan, tantangan dan kebudayaan masyarakat setempat-setempat.
Dalam melaksanakan fungsinya, aktivitas-aktivitas polisi secara tradisional yang bersifat reaktif dengan mengedepankan tindakan represif ketimbang tindakan preventif harus mulai dirubah, menjadi aktivitas-aktivitas polisi secara modern yang bersifat proaktif dengan mengedepankan tindakan-tindakan pencegahan. Karena polisi masa depan dalam masyarakat sipil yang demokratis menuntut polisi mendahulukan tindakan pencegahan ketimbang penindakan atau penegakan hukum, karena tindakan pencegahan lebih mampu menekan kejadian, menekan timbulnya kerugian harta dan jiwa, ongkos yang dikeluarkan relatif lebih sedikit dan dengan segala keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh polisi dibandingkan dengan tantangan dan tuntutan rasa aman yang diinginkan oleh masyarakt maka tindakan pencegahan juga mengikut sertakan masyarakat dalam menciptakan keteraturan sosial dalam masyarakat itu sendiri. Konsep dan kebijakan yang tepat dalam pencegahan terjadinya kejahatan dengan mengikutsertakan komuniti-komuniti dalam masyarakat melalui kebijakan dan program pemolisian komuniti (Community policing). Pemolisian komuniti merupakan konsep kebijakan dan program yang tepat diterapkan dalam pencegahan konflik yang terjadi dalam hubungan antar sukubangsa. Friedman (1992) menjelaskan bahwa hubungan polisi dengan komuniti setempat sebagai bagian dari kebijaksanaan dan strategi untuk kepentingan polisi dalam memelihara keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan komuniti, dalam sebuah model yang dinamakan sebagai pemolisian komuniti (community policing).
Pemolisian komuniti dibentuk atas bangunan konsep dari pembangunan komuniti (community development) merupakan sebuah proses yang bercorak bottom up dimana anggota-anggota sebuah komuniti menggorganisasi diri mereka dalam kelompok atau kumpulan individu yang secara bersama merasakan kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka atasi yang dalam pelaksanaannya mereka itu tergantung pada sumber-sumberdaya yang ada dalam komuniti, dan bila merasa kurang maka mereka meminta bantuan kepada pemerintah atau badan-badan pemerintah. Sehingga dalam pemolisian komuniti memperlihatkan keterlibatan masyarakat dalam memberikan ide-ide, perencanaan-perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan dari anggota komuniti yang berasal dari mereka sendiri dan untuk kepentingan dan keuntungan mereka bersama, sehingga apabila keteraturan sosial menjadi suatu kebutuhan bagi komuniti, masyarakat dan warga sukubangsa, maka mereka diberi kesempatan untuk membangun secara bottom up, dan polisi memberikan kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dicukupi oleh mereka, seperti kewenangan, pembinaan dan metoda pengamanan lingkungan yang benar. Melalui kebijakan dan program pemolisian komuniti (community policing) inilah sebenarnya polisi akan dapat berfungsi sebagai pengayom warga komuniti dari berbagai bentuk dan ancaman serta kejahatan serta penegak hukum yang adil dan terpercaya sehingga dapat berfungsi sebagai mediator ataupun sebagai negoisator secara efektif dan efesien dalam berbagai konflik yang terwujud dalam komuniti setempat.





Ø  Fungsi polisi dalam mencegah terjadinya konflik antar sukubangsa dengan menerapkan konsep pemolisian komuniti dilakukan untuk untuk:
-          Mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya tentang kebudayaan dari masing-masing sukubangsa dan  konvensi-konvensi sosial yang berlaku dalam suatu komuniti.
-          Memberikan kesempatan kepada komuniti atau warga sukubangsa dalam hubungan antar sukubangsa untuk membangun konsep keamanan mereka yang dipandu oleh polisi.
-          Menjadi mediator atau negoisator dalam berbagai perbedaan yang ada dalam suatu golongan atau sukubangsa, dengan cara memberikan informasi yang cukup kepada warga suatu sukubangsa tentang kebudayaan dari masing-masing sukubangsa, memberikan fasilitas yang mempertemukan warga sukubangsa , untuk melakukan komunikasi sosial yang dapat mereduksi tajamnya batas-batas sosial dan stereotip.
-          Bertindak sebagai wasit yang adil dalam menegakkan aturan yang ada.
-          Menjadi pengawas atas konvensi-konvensi sosial yang berlaku adil.
Untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai pencegah terjadinya konflik, maka seorang petugas polisi yang melaksanakan kegiatan pemolisian komuniti dituntut untuk selalu berada didalam wilayah dan ada diantara warga sukubangsa-sukubangsa, artinya selalu melakukan komunikasi dengan warga sukubangsa-sukubangsa dan memahami kebudayaan beserta atribut-atribut dari masing-masing warga sukubangsa, sehingga diperoleh informasi yang cukup tentang keluhan-keluhan tentang hubungan antar sukubangsa, harapan-harapan dan berbagai permasalahan dalam menciptakan keteraturan sosial, dan berbagai aturan yang dirasakan masih belum memberikan rasa aman dan keadilan dalam hubungan antar sukubangsa dan masyarakat ditempat tugasnya.
Oleh karena itu diperlukan pengetahuan yang cukup bagi petugas polisi dalam menjalankan perannya sebagai pelaksana polisi komuniti untuk mencegah terjadinya konflik antar sukubangsa, baik pengetahuan dalam bidang pemolisian maupun pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial. Rahardjo menjelaskan prinsip-prinsip pemolisian komuniti yang harus dimiliki oleh setiap petugas polisi antara lain : (1) individual, artinya petugas polisi mengutamakan pendekatan individu atau personal bukan otoritas yang justru menjauhkan polisi dari masyarakatnya, dan bersikap sebagai pelayan masyarakat yang tidak diskriminatif, (2) dialogue persuasion, artinya lebih menggunakan pendekatan persuasif dengan dialog daripada kekuatan pasukan, (3) freedom, artinya masyarakat diberikan kebebasan dalam memberikan pendapatnya tentang pemolisian komuniti, serta kritik kepada polisi dalam upaya mencari pemecahan terbaik dan menentukan gaya pemolisian yang tepat bagi lingkungannya, (4) partnership, artinya dalam pemolisian komuniti masyarakat merupakan partner polisi bukan sebagai obyek, (5) accountability, artinya walaupun pemolisian komuniti merupakan tanggunjawab bersama antara polisi dan masyarakat, namun polisi juga harus transparan dalam pembuatan kebijakan publik baik secara organisasi maupun perorangan, dan (6) people, artinya pemolisian komuniti mengutamakan kepentingan orang banyak, bukan perorangan, untuk itu harus didasarkan pada semangat perlindungan manusia tanpa diskriminasi.
Fungsi dan peran polisi yang harus dilakukan pada saat sedang berlangsungnya konflik fisik antar sukubangsa adalah pertama, meredam dan menghentikan konflik fisik antar sukubangsa yang terjadi dengan menggunakan kekuatan fisik polisi yang lebih besar dari warga sukubangsa-sukubangsa yang terlibat konflik,  kedua mencegah meluasnya wilayah dan sentimen konflik fisik yang terjadi, ketiga menjadi mediator dan negosiator yang dapat dipercaya untuk membangun aturan-aturan atau konvensi-konvensi sosial yang disepakati oleh kedua pihak yang sedang konflik, dan keempat mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya tentang konflik yang terjadi guna mencegah terjadinya potensi-potensi konflik dalam bentuk konflik simbolik yang dapat mengaktifkan kembali konflik fisik yang lebih besar dimasa yang akan datang.
Pada saat konflik fisik antar sukubangsa sedang terjadi dan melibatkan massa yang besar diantara warga sukubangsa-sukubangsa yang saling berhadapan secara fisik, maka cara yang paling efektif untuk menghentikan konflik fisik yang saling berhadapan itu adalah dengan menggunakan kekuatan fisik polisi yang lebih besar dari kekuatan dan jumlah warga sukubangsa-sukubangsa yang terlibat konflik, hal ini dilakukan dalam upaya untuk mencegah bertambahnya korban jiwa, terutama warga sukubangsa-sukubangsa yang tidak mengetahui atau tidak terlibat dengan konflik yang terjadi, dan mencegah semakin parahnya kerusakan fisik dan fasilitas umum yang ada. Tindakan penggunaan kekuatan fisik polisi yang besar dapat dilakukan dengan dua syarat, pertama, polisi memiliki sumberdaya fisik yang cukup untuk meredam konflik yang terjadi, dan kedua, polisi secara personal dan kesatuan memiliki kemampuan untuk bertindak secara adil dan tidak memihak kepada salah satu pihak sukubangsa yang sedang konflik.
Bersamaan dengan tindakan pengerahan kekuatan fisik polisi pada konflik fisik antar sukubangsa, maka juga dilakukan tindakan-tindakan mencegah agar konflik fisik yang terjadi tidak meluas, yaitu dengan menutup wilayah-wilayah yang menjadi arena konflik, melakukan tindakan pencegahan berupa pemeriksaan terhadap orang-orang yang akan memasuki wilayah konflik yang diperkirakan akan memberikan bantuan secara fisik maupun bantuan berupa persenjataan-persenjataan yang justru akan semakin memperburuk keadaan konflik yang terjadi serta akan memperluas wilayah konflik fisik, karena apabila diketahui oleh salah satu warga sukubangsa yang terlibat konflik bahwa ada warga sukubangsa lain atau kelompok dalam golongan sosial lain yang memberikan bantuan kepada salah satu warga sukubangsa, maka konflik antar sukubangsa akan semakin meluas dan melibatkan golongan yang memberikan bantuan kepada salah satu pihak yang sedang konflik. Tindakan pencegahan meluasnya konflik fisik yang terjadi juga dilakukan dengan meningkatkan komunikasi dengan para warga sukubangsa dan tokoh-tokoh masyarakat sukubangsa disekitar wilayah konflik atau tetangga wilayah konflik untuk menjelaskan dan memberi pemahaman tentang konflik fisik antar sukubangsa yang terjadi diwilayah sebelahnya dan mencegah terlibatnya warga sukubangsa atau masyarakat sekitar terhadap konflik yang terjadi diwilayah sebelahnya.
Pada saat itu, polisi juga harus segera bertindak sebagai mediator atau negoisator yang dapat dipercaya oleh kedua pihak untuk mempertemukan para tokoh-tokoh yang terlibat konflik, diajak berbicara dan mencari upaya-upaya untuk menghentikan konflik yang terjadi secara damai. Membuat aturan-aturan atau konvensi-konvensi sosial beserta sanksi-sanksi yang disepakati bersama. Aturan-aturan tersebut dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh masing-masing pihak sukubangsa yang terlibat konflik, dengan ketentuan apabila ada salah satu pihak yang melanggar dari kesepakatan yang tertulis, maka polisi akan menjadi wasit sekaligus menegakkan hukum. Sebagai wasit yang adil, maka polisi harus memahami kebudayaan yang didalamnya berisi tentang konsep-konsep dan metode-metode peperangan dan penyelesaian peperangan dari kedua pihak yang terlibat konflik, artinya polisi harus dapat mempertemukan secara arif dan adil antara kepentingan mencegah bertambahnya korban jiwa dan harta, dengan kepentingan aturan-aturan perang dan penyelesaian perang dalam kebudayaan kedua belah pihak serta aturan-aturan yang diatur secara hukum nasional, yang seluruhnya harus berorientasi kepada terhentinya konflik, terciptanya perdamaian dikedua pihak, disepakati dan diterimanya aturan-aturan yang dibuat oleh kedua pihak, serta tidak menimbulkan konflik dimasa yang akan datang.
Petugas polisi juga harus mampu mengumpulkan informasi apakah konflik yang terjadi saat ini memiliki hubungan dan pernah terjadi sebelumnya, siapa-siapa saja yang terlibat konflik pada saat itu, apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik pada saat itu, siapa saja yang menjadi korban dan siapa yang menjadi kerabat dari korban, bagaimana reaksi dari kerabat korban dengan konflik yang terjadi, dan selanjutnya siapa yang memiliki potensi menjadi provokator atau orang-orang yang dapat mewujudkan konflik simbolik yang dapat mengaktifkan sentimen kesukubangsaan. Informasi-informasi ini sangat berguna untuk dianalisa ketika konflik sedang berlangsung, guna menemukan dan mengumpulkan tokoh-tokoh yang tepat dan mengetahui sumber penyebab terjadinya konflik sehingga ditemukan cara-cara penyelesaian konflik yang tepat. Dalam mencari cara-cara penyelesaian yang tepat polisi juga dapat menggunakan konsep memperbaiki jendela yang rusak (fixing the broken windows) oleh Kelling & Coles (1998), yaitu menciptakan suatu lingkungan yang aman bagi hubungan antar sukubangsa, disamping melibatkan polisi dan masyarakat juga pemerintahan setempat untuk mencari sumber-sumber masalah yang menjadi embrio dari konflik antar sukubangsa, memperbaikinya secara bersama-sama dan membuat aturan-aturan atau konvensi-konvensi sosial, serta melibatkan masyarakat dalam menjaga aturan-aturan tersebut.



Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :

1. Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.

2. Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.

3. Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.


KESIMPULAN

Disadari atau tidak perdamaian dan suasana yang kondusif adalah suatu hal yang sangat diidamkan oleh masyarakat negeri ini. perlunya peran pemerintah dan kerjasama antara elemen masyarakat. Perspektif konflik antara sukubangsa Ambon dan Flores yang terjadi didepan PN Jakarta Selatan tersebut diatas terutama disebabkan pengaktifan sentimen kesukubangsaan secara sempit dan subyektif yang diinterpretasikan sebagai perbuatan yang melukai harga diri dan kehormatan masing – masing sukubangsa Ambon dan sukubangsa Flores yang selanjutnya terwujud sebagai konflik fisik yang bertujuan melakukan penghancuran harta benda bahkan saling mengacam untuk memusnahkan jiwa kedua belah pihak yang bertikai

Kurangnya pemahaman dan internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika oleh generasi muda tersebut turut memicu munculnya aroganisme yang mengakibatkan konflik antar sukubangsa yang semestinya tidak terjadi apabila nilai-nilai dimaksud telah tertanam dalam tiap-tiap individu mereka, walaupun tidak bias dipungkiri pula faktor Ekonomi adalah salah satu sebab lain yang memiliki andil dalam kejadian tersebut.

Aspek individu pihak-pihak yang terlibat konflik melalui pemberian pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika, peniadaan stereotip dan prasangka serta kesediaan saling memaafkan antar satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya. Cara lainnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah upaya untuk pemerataan dibidang ekonomi dan pembangunan dengan cara penyedian sumber-sumber lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan merata diseluruh Indonesia sehingga tidak terjadi penumpukan penduduk disalah satu wilayah yang menimbulkan dampak lain seperti pengangguran. Gunamewujudkan keharmonisan hubungan antar sukubangsa dalam interaksisosial, Polri dapat berperan di dalamnya dengan menerapkan model Polmasmelalui pemberdayaan para tokoh yang merupakan Patron dari masing-masing sukubangsa yang terlibat konflik sehingga terjadi hubungan dan kerjasama yang berkesinambungan antara masing masing sukubangsa tersebut.

Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-insan yang berorientasi inklusivisme. Berkepribadian sebagai eksklusivis, warga tidak hendak menyatukan dirinya ke puak lain, bahkan, alih-alih demikian, ia besikap konfrontatif dengan puak lain. Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik yang dibayangkan hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all serta pula bahwa to the winner the spoil. Matinya yang kalah akan menjadi rotinya sang pemenang, iemands dood, iemands brood. Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada model yang demikian ini, yang tak muhal bisa terjadi juga dalam masyarakat yang demokratik, akibat yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi; ialah dicegah untuk menjadi terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang “pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan aturan-aturan permainan yang telah ditetapkan bersama (misalnya aturan perundang-undangan) yang telah dimengerti dan disosialisasikan.




Sumber :
http://buanajurnal.wordpress.com/2013/06/28/konflik-antar-suku-bangsa
http://mascondro212.blogspot.com/2011/05/konflik-antar-suku-bangsa-dan-upaya_16.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar